Senja ini Niken sengaja tak buru-buru
menghampiri bis di ujung jalur terminal. Sekedar menghilangkan pegal di
pergelangan kaki. Ia berdiri dan bersandar pada jeruji besi biru pembatas. Dia
mengamati hiruk-pikuk orang yang baru pulang kerja dan riuh rendahnya
pengamen-pengamen cilik berdebat sambil berebut recehan yang bergemerincing
dalam plastik kumal bekas permen.
Ia menghela napas panjang.
Pertengkarannya dengan Damar tadi membuat Niken masih merasa kesal. Damar
bilang Niken pelit. Padahal mereka bersahabat sejak SMP dan Niken gak pernah
merasa pelit padanya.
“Bukan pelit sama aku, kamu tuh pelit
kalo ada pengemis atau pengamen yang minta recehan.” Ujar Damar.
“Trus apa hubungannya sama kamu Mar?
mereka juga gak komplain kan?” Niken melotot
“Ya, aku gak suka aja punya temen
pelit kayak kamu!” Damar melengos.
“Ih, kok kamu yang sewot yee.” Niken
meleletkan lidah.
“Percuma dong aku berbusa-busa jelasin
ke kamu kalau sedekah itu penting!”
“Iya tauuuu..berapa kali sih kamu
ngomong gitu ke aku. Bosen!” Niken manyun lagi.
“Kamu itu sahabatku Ken, aku gak suka
sahabatku pelit.”
Damar itu Primus, alias Pria Mushola.
Maksudnya Damar tuh aktif ikut Rohis di sekolah, dia sering ngasi ‘wejangan’ ke
teman-teman soal bersedekah. Walaupun masih berstatus pelajar SMU dan masih
nebeng duit ortu, paling tidak uang jajan bisa disisihkan untuk fakir miskin.
Uang di kantong polo shirt pinknya masih ada empat belas ribu lima ratus
rupiah. Ongkos metromini cuma dua ribu. Sisanya nanti akan dimasukkan ke
celengan sapi di rumah. Niken senyum-senyum sendiri.
“Nanti kalau sudah penuh aku akan beli
laptop idaman” Ujarnya dalam hati.
Seorang pengamen kecil berbaju merah lusuh dan bertelanjang kaki menghampiri.
Menadahkan tangannya. Niken bergidik.
“Ih pasti bau banget ni anak. Gak
pernah mandi apalagi keramas” Ia berkata dalam hati. Digelengkannya kepala.
Anak itu masih ulet menadahkan tangan.
“Seribu saja kak, buat tambah-tambah
setoran.”
“Niken tetap menggeleng. Terbayang lagi
ekspresi Damar “Niken pelit!”. Uugh..Niken jadi makin sebal.
Diliriknya lagi saku baju. Terpaksalah dia meraih kepingan uang lima ratus
perak dan menyodorkan ke tangan pengamen tadi. Meski tak terlihat senang, gadis
kecil itu tetap mengucap terima kasih dan berlari kecil ke arah tangga terminal
dan menghilang di balik keramaian.
***
“Apa alasan kamu gak mau kasih uang ke
pengemis atau pengamen?” Damar satu kali pernah menginterogasi Niken.
“Bukannya gak mau…” Niken berusaha
membela diri.
“Trus apa? cuma pelit?”
Lagi-lagi Niken merengut. “Aku udah gak
percaya sama mereka.” Ia menjawab perlahan.
“Gak percaya gimana?” Damar akhirnya
melunak.
Mungkin kasian juga ngeliat Niken
diinterogasi terus - terusan.
“Mereka kan gak benar-benar miskin Mar.
Mereka minta-minta itu disuruh sama orang yang mengkoordinir mereka. Kalau aku
kasih uang buat mereka. Uang itu masuk ke kantong orang jahat. Sama aja aku
kasih makan orang jahat dan bikin mereka semakin malas bekerja.” Damar
mengangguk-angguk. Kata-kata Niken tidak seratus persen salah.
“Apalagi di Jakarta gini Mar, orang
berbuat apa saja dan menghalalkan segala cara kan buat dapetin uang.”
“Tapi gak semuanya Ken.” Damar
menghela napas.
“Iya aku tau. Tapi gimana kamu tau mana
pengemis yang benar-benar miskin sama pengemis yang pura-pura miskin?”
Damar menggelengkan kepala. Mungkin dia
sambil berpikir bagaimana harus mematahkan argumen Niken yang agak-agak ngotot
itu.
“Tapi tetap saja aku gak mau kamu jadi
orang pelit.”
Niken mengangguk sambil tersenyum.
Sebelum beranjak, Damar nyeplos “Ken, kamu ingat kisah di zaman Rosul. Malaikat
kerapkali menyamar menjadi pengemis dan peminta-minta untuk menguji kadar
keimanan dan kedermawanan manusia. Mungkin bukan cuma di zaman Rosul aja,
sekarang pun bisa jadi begitu”. Niken tertegun.
“Ya, Damar benar. Mungkin aku terlalu pelit. Bagaimana jika ternyata salah satu
dari pengemis atau pengamen yang aku tolak ternyata adalah malaikat yang
menyamar? Itu berarti bisa saja malaikat marah dan tidak menyampaikan doaku
pada Tuhan?” Niken berpikir amat lama.
***
Niken menggoyangkan celengan sapinya di
kamar. Hampir penuh. Ia menabung sejak enam bulan yang lalu. Targetnya terntu
saja buat beli laptop idaman dengan OS terbaru, dilengkapi Wifi dan memorinya
besar. Biar hobi nulisnya tersalurkan dengan baik dan gak perlu pinjem laptop
Papa lagi kan.
“Cuma kurang sedikit lagi” Niken
menggumam.
“Kalau kamu mau beli laptop, ya menabung dong Ken.” Papa menasihatinya saat
Niken merajuk minta dibeliin laptop. Papa dan Mama adalah orang tua yang tidak
mau begitu saja menuruti kemauan anak-anaknya tanpa usaha keras. Niken dan
kakak-kakaknya sudah terbiasa menabung sejak kecil. Apalagi kalau mereka lagi
pengen sesuatu, ya nabungnya juga harus lebih rajin.
Pengorbanan dapetin laptop lumayan berat banget buat Niken. Dia harus merelakan
jatah jajannya berkurang, gak bisa jajan nasi goreng, pecel ayam dan bakso lagi
di kantin. Cukup beli cemilan dan bawa bekal dari rumah yang disiapkan mama.
Untuk yang satu itu, Niken harus menahan malu, dicengin sama Vera temen
sebangkunya. Dibilang kayak anak SD lah, sok higienis lah. Niken juga harus
menahan nafsu jalan-jalannya ke mal bareng temen segengnya. Gak bisa beli
t-shirt keluaran terbaru atau tas lucu limited edition. Demi laptop.
Pulang sekolah, Damar sudah menunggu
Niken di meja piket sekolah.
“Gak bisa pulang bareng ya hari ini,
ada kunjungan ke Rumah Singgah di daerah Cawang.” Damar tidak lagi menawarkan
Niken untuk ikut gabung karena tiap kali Damar nawarin selalu ditolak. Alasan
Niken, panas lah, kumuh lah, bau lah. Damar kapok.
“Kok gak nanyain aku ikut apa enggak?”
pertanyaan Niken bikin Damar melongo.
“Lah kan biasanya kamu gak mau ikut
kalo diajakin?”
“Sekarang mau kok! Sama siapa aja?”. Niken tertawa.
Damar menyebutkan satu-persatu
nama teman-teman yang mau ikut ke sana.
Sebenarnya Niken amat kagum dengan Damar. Jarang banget ada remaja dengan jiwa
sosial yang tinggi. Niken selalu godain Damar dengan sebutan Aktivis Ganteng.
Jelas aja Damar suka kegeeran dibilang ganteng.
Beberapa bulan ini, Damar dan teman-temannya dimintai tolong sebuah LSM dari
Solo yang ingin membuat sebuah rumah singgah dengan berbagai macam program
untuk membantu anak jalanan. Anak jalanan yang dijadikan target sasaran gak
main-main loh. Selain pengamen dan pengemis, Damar melakukan pendekatan gencar
juga ke kelompok-kelompok anak punk yang ada di Jakarta.
“Kenapa juga anak punk sih? Kan serem Mar.”
Niken protes waktu Damar menjelaskan
kegiatannya dulu. Lihat aja dandanannya yang aneh-aneh, rambut yang digunting
gaya mohawk atau feathercut, warna-warni pula, celana jeans ketat dan
lusuh, jaket kulit, sepatu boot, rantai dan spike”.
“Hiii…” Niken bergidik ngeri. Dia suka
gemetar kalo di bis atau di angkot nemuin anak-anak punk yang ngamen gak jelas.
Lagunya apa, suaranya kemana-mana. Udah gitu minta duitnya maksa. Duh, gak
banget deh.
Dengan bijak Damar menjelaskan. “Mereka gak seburuk yang kamu pikirkan Ken.
Mereka itu banyak yang kreatif loh, hanya saja tidak tahu ke mana harus
menyalurkan kreativitasnya. Gak semua anak punk juga terlibat kriminalitas.”
“Tapi kan sulit Mar, mengubah pola pikir mereka yang antisosial dan
antikemapanan.” Niken masih ragu. Damar tertawa terbahak-bahak.
“Kalo gak sulit, ya namanya gampang!”
“Mereka itu sebenernya anak-anak yang mandiri, liat aja motonya ‘we can do
it ourselves’ artinya mandiri kan? cuman ya biasalah masing-masing
mengartikan sesuatu itu kan beda-beda.
“Sok bijak loe Mar!”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar