Rabu, 22 Juli 2015

Mencari Malaikat

Senja ini Niken sengaja tak buru-buru menghampiri bis di ujung jalur terminal. Sekedar menghilangkan pegal di pergelangan kaki. Ia berdiri dan bersandar pada jeruji besi biru pembatas. Dia mengamati hiruk-pikuk orang yang baru pulang kerja dan riuh rendahnya pengamen-pengamen cilik berdebat sambil berebut recehan yang bergemerincing dalam plastik kumal bekas permen.
Ia menghela napas panjang. Pertengkarannya dengan Damar tadi membuat Niken masih merasa kesal. Damar bilang Niken pelit. Padahal mereka bersahabat sejak SMP dan Niken gak pernah merasa pelit padanya.
“Bukan pelit sama aku, kamu tuh pelit kalo ada pengemis atau pengamen yang minta recehan.” Ujar Damar.

“Trus apa hubungannya sama kamu Mar? mereka juga gak komplain kan?” Niken melotot
“Ya,  aku gak suka aja punya temen pelit kayak kamu!” Damar melengos.
“Ih, kok kamu yang sewot yee.” Niken meleletkan lidah.
“Percuma dong aku berbusa-busa jelasin ke kamu kalau sedekah itu penting!”
 “Iya tauuuu..berapa kali sih kamu ngomong gitu ke aku. Bosen!” Niken manyun lagi.
“Kamu itu sahabatku Ken, aku gak suka sahabatku pelit.”
Damar itu Primus, alias Pria Mushola. Maksudnya Damar tuh aktif ikut Rohis di sekolah, dia sering ngasi ‘wejangan’ ke teman-teman soal bersedekah. Walaupun masih berstatus pelajar SMU dan masih nebeng duit ortu, paling tidak uang jajan bisa disisihkan untuk fakir miskin.
            Uang di kantong polo shirt pinknya masih ada empat belas ribu lima ratus rupiah. Ongkos metromini cuma dua ribu. Sisanya nanti akan dimasukkan ke celengan sapi di rumah. Niken senyum-senyum sendiri.
“Nanti kalau sudah penuh aku akan beli laptop idaman” Ujarnya dalam hati.
            Seorang pengamen kecil berbaju merah lusuh dan bertelanjang kaki menghampiri. Menadahkan tangannya. Niken bergidik.
“Ih pasti bau banget ni anak. Gak pernah mandi apalagi keramas” Ia berkata dalam hati. Digelengkannya kepala. Anak itu masih ulet menadahkan tangan.
“Seribu saja kak, buat tambah-tambah setoran.”
“Niken tetap menggeleng. Terbayang lagi ekspresi Damar “Niken pelit!”. Uugh..Niken jadi makin sebal.
            Diliriknya lagi saku baju. Terpaksalah dia meraih kepingan uang lima ratus perak dan menyodorkan ke tangan pengamen tadi. Meski tak terlihat senang, gadis kecil itu tetap mengucap terima kasih dan berlari kecil ke arah tangga terminal dan menghilang di balik keramaian.

***

“Apa alasan kamu gak mau kasih uang ke pengemis atau pengamen?” Damar satu kali pernah menginterogasi Niken.
“Bukannya gak mau…” Niken berusaha membela diri.
“Trus apa? cuma pelit?”
Lagi-lagi Niken merengut. “Aku udah gak percaya sama mereka.” Ia menjawab perlahan.
“Gak percaya gimana?” Damar akhirnya melunak.
Mungkin kasian juga ngeliat Niken diinterogasi terus - terusan.
“Mereka kan gak benar-benar miskin Mar. Mereka minta-minta itu disuruh sama orang yang mengkoordinir mereka. Kalau aku kasih uang buat mereka. Uang itu masuk ke kantong orang jahat. Sama aja aku kasih makan orang jahat dan bikin mereka semakin malas bekerja.” Damar mengangguk-angguk. Kata-kata Niken tidak seratus persen salah.
“Apalagi di Jakarta gini Mar, orang berbuat apa saja dan menghalalkan segala cara kan buat dapetin uang.” 
 “Tapi gak semuanya Ken.” Damar menghela napas.
“Iya aku tau. Tapi gimana kamu tau mana pengemis yang benar-benar miskin sama pengemis yang pura-pura miskin?”
Damar menggelengkan kepala. Mungkin dia sambil berpikir bagaimana harus mematahkan argumen Niken yang agak-agak ngotot itu.
“Tapi tetap saja aku gak mau kamu jadi orang pelit.”
Niken mengangguk sambil tersenyum. Sebelum beranjak, Damar nyeplos “Ken, kamu ingat kisah di zaman Rosul. Malaikat kerapkali menyamar menjadi pengemis dan peminta-minta untuk menguji kadar keimanan dan kedermawanan manusia. Mungkin bukan cuma di zaman Rosul aja, sekarang pun bisa jadi begitu”.  Niken tertegun.
            “Ya, Damar benar. Mungkin aku terlalu pelit. Bagaimana jika ternyata salah satu dari pengemis atau pengamen yang aku tolak ternyata adalah malaikat yang menyamar? Itu berarti bisa saja malaikat marah dan tidak menyampaikan doaku pada Tuhan?” Niken berpikir amat lama.
***

Niken menggoyangkan celengan sapinya di kamar. Hampir penuh. Ia menabung sejak enam bulan yang lalu. Targetnya terntu saja buat beli laptop idaman dengan OS terbaru, dilengkapi Wifi dan memorinya besar. Biar hobi nulisnya tersalurkan dengan baik dan gak perlu pinjem laptop Papa lagi kan.
“Cuma kurang sedikit lagi” Niken menggumam.
            “Kalau kamu mau beli laptop, ya menabung dong Ken.” Papa menasihatinya saat Niken merajuk minta dibeliin laptop. Papa dan Mama adalah orang tua yang tidak mau begitu saja menuruti kemauan anak-anaknya tanpa usaha keras. Niken dan kakak-kakaknya sudah terbiasa menabung sejak kecil. Apalagi kalau mereka lagi pengen sesuatu, ya nabungnya juga harus lebih rajin.
            Pengorbanan dapetin laptop lumayan berat banget buat Niken. Dia harus merelakan jatah jajannya berkurang, gak bisa jajan nasi goreng, pecel ayam dan bakso lagi di kantin. Cukup beli cemilan dan bawa bekal dari rumah yang disiapkan mama. Untuk yang satu itu, Niken harus menahan malu, dicengin sama Vera temen sebangkunya. Dibilang kayak anak SD lah, sok higienis lah. Niken juga harus menahan nafsu jalan-jalannya ke mal bareng temen segengnya. Gak bisa beli t-shirt keluaran terbaru atau tas lucu limited edition. Demi laptop.
Pulang sekolah, Damar sudah menunggu Niken di meja piket sekolah.
“Gak bisa pulang bareng ya hari ini, ada kunjungan ke Rumah Singgah di daerah Cawang.” Damar tidak lagi menawarkan Niken untuk ikut gabung karena tiap kali Damar nawarin selalu ditolak. Alasan Niken, panas lah, kumuh lah, bau lah. Damar kapok.
“Kok gak nanyain aku ikut apa enggak?” pertanyaan Niken bikin Damar melongo.
“Lah kan biasanya kamu gak mau ikut kalo diajakin?”
            “Sekarang mau kok! Sama siapa aja?”. Niken tertawa.
 Damar menyebutkan satu-persatu nama teman-teman yang mau ikut ke sana.
            Sebenarnya Niken amat kagum dengan Damar. Jarang banget ada remaja dengan jiwa sosial yang tinggi. Niken selalu godain Damar dengan sebutan Aktivis Ganteng. Jelas aja Damar suka kegeeran dibilang ganteng.
            Beberapa bulan ini, Damar dan teman-temannya dimintai tolong sebuah LSM dari Solo yang ingin membuat sebuah rumah singgah dengan berbagai macam program untuk membantu anak jalanan. Anak jalanan yang dijadikan target sasaran gak main-main loh. Selain pengamen dan pengemis, Damar melakukan pendekatan gencar juga ke kelompok-kelompok anak punk yang ada di Jakarta.
            “Kenapa juga anak punk sih? Kan serem Mar.”
Niken protes waktu Damar menjelaskan kegiatannya dulu. Lihat aja dandanannya yang aneh-aneh, rambut yang digunting gaya mohawk atau feathercut, warna-warni pula, celana jeans ketat dan lusuh, jaket kulit, sepatu boot, rantai dan spike”.
“Hiii…” Niken bergidik ngeri. Dia suka gemetar kalo di bis atau di angkot nemuin anak-anak punk yang ngamen gak jelas. Lagunya apa, suaranya kemana-mana. Udah gitu minta duitnya maksa. Duh, gak banget deh. 
            Dengan bijak Damar menjelaskan. “Mereka gak seburuk yang kamu pikirkan Ken. Mereka itu banyak yang kreatif loh, hanya saja tidak tahu ke mana harus menyalurkan kreativitasnya. Gak semua anak punk juga terlibat kriminalitas.”
            “Tapi kan sulit Mar, mengubah pola pikir mereka yang antisosial dan antikemapanan.” Niken masih ragu. Damar tertawa terbahak-bahak.
            “Kalo gak sulit, ya namanya gampang!”
            “Mereka itu sebenernya anak-anak yang mandiri, liat aja motonya ‘we can do it ourselves’ artinya mandiri kan? cuman ya biasalah masing-masing mengartikan sesuatu itu kan beda-beda.

 “Sok bijak loe Mar!”. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar


Cinta yang halal...
Berapa banyak dari kita yang mengharapkannya
Sehingga bukan lagi untuk menghalalkan segala cara
Karena cinta mengajari kita mengerti dan memahami
Tentang arti sebuah keikhlasan

Biarlah...
ku mencintaimu dalam diam
semua akan indah pada waktunya
Tentang cinta yang halal
Tentang kedewasaan cinta nya, cintaku dan cintamu
Diatas jalan yang halal
dan berakhir dengan keberkahannya...
Amin..
 
Copyright © 2009 . |Designed by Templatemo |Converted to blogger by BloggerThemes.Net

Usage Rights