Senin, 27 Agustus 2012

PIRANTI HATI YANG RETAK



Perlahan sekali Mia mausk ke rumah lewat pintu garasi. 
perlahan pula dibukanya pintu samping ruang tamu.
ia berjingkat-jingkat menuju kamarnya......


“Mia!”  Deg! suara Mama! “Mia! Keterlaluan kamu! Kenapa kamu pakai lagi jilbab sialan itu! Kenapaaa? Belum puas juga kamu kermarin, ya!? Berani sekali kamu sama Mama! Mama kandungmu!
Dasar anak durhakaaaaa!” tangan Mama, wanita setengah baya itu, sibuk memukuli Mia. Kemudian tangannya yang lain bergerak menjenggut jilbab Mía...
“A...duh... Astagh...firullah...,’ seru Mia lemah. Dagu dan sebagian lehernya berdarah terkena goresan peniti.
“Bi Nuung! Bi Nuuuuuuunggg!!” “iii. ..ya, Nyahl’ suara Bi Nung, pembantu mamah tangga mereka. “Bakar semua jilbab dan pakaian panjangnya!” Mia tersentak! “Mama, maaf, tapi Mama nggak punya hak melakukan hal itu..., itu Mia dapat dan teman-teman Mía...”

“Bakar, Bi! Bakar!” “Ttttapi... Nyah...” Langkah kaki Mama menghentak-hentak menuju kamar Mia. Dengan kasar wanita itu mengobrak-abrik lemari pakaian putri satu- satunya ¡tu. Baju panjang, rok panjang, gamis, jilbab, kaos kaki panjang, .. .semua tak ada yang luput!


‘Bakar, Bi!”.
“Ja... jangan, Ma! Maaa...,jangan!” Mata Bi Nung memerah. Sebentar lagi air matanya akan menetes. “Baik, aku yang bakar sendiri!’ teriak Mama kasar. Jam empat sore. Baju, rok panjang, gamis, jilbab dan kaos kaki Mia sudah jadi ahi di halaman belakang....


Awalnya tiga bulan yang lalu. Mia dan teman-temannya mengikuti pengajian bulanan yang diadakan oleh Rohis 
SMA nya. Waktu ¡tu Mia terkesan sekali dengan apa yang diadakan oeh Pak Jayid, guru agama Islam mereka
 yang baru ¡tu. Pak Jayid banyak membahas soal dan problematika remaja Islam masa kini dan pemecahannya. 
Dan... tiba-tiba saja Mia merasa semua itu menyindir dan menyentilnya... Begitu dalam. 

. “Konsep wanita sholihat itu...masya Allah...,’ kata Pak Jayid. ‘la adalah seorang wanita yang mampu membawa
 kemaslahatan, berdayaguna bagi dirinya sendiri, bagi keluarganya, bagi masyarakat dan umatnya! Wanita yang
 diridhoi oleh Al¡ah ! Allah dan Rasulullah adalah kekasib sejati baginya.” 
Dan... entah mengapa Mia merasa..., selama ini ia tak berdayaguna bagi dirinya sendiri.Apalagi orang lain, 
la bukan larut dalam kebaikan, tetapi dalam kesia-siaan! Kesemuan semata. Bahkan menjaga dirinya dari 
amarah Allah pun la tak mampu... bukan hanya tak mampu, namun juga tak pernah berusaha untuk ¡tu!  Dan ketika 
di akhir pengjiapan, Pak Yajid menanyain siapa saja yang ingin menjadi pria sholih dan wanita shohat. serta- merta
 Mia berteriak. “Saya, Pak! Do’ain saya, Pak.
Yang berteriak memang cuma Mia. Kemudian sepi. “Aamiiin, terdengar suara ramah Pak Jayid dari balik hijab 
musholla, diikuti cekikikan teman-teman Mia yang lelaki dan perempuan. “Gue sungguh-sungguh, In! Gue sungguh-
sungguh, Neng! Do’ain gue Dosa lu pade ngetawain orang yang mau tobat!”Teman-teman Mia tambah ngakak. “Hus,
 kok abis ngaji masih kumat, sih?!” kata Via, teman sekelas Mia yang baru dua bulan ini berjilbab. Seminggu 
setelah itu Mia mantap mengenakan busana muslimah. Rapi sekali. Nggak
cuma orang rumah atau sesekolah yang geger! Sekampung bingung!Bayangin..., Mia? Mia Prasanti, wakil ketua
 OSIS es em a 111, pemimpin paduan suara dan dance club di SMA-nya ¡tu berjilbab? Mia yang manis dan imut-
imut, orator berat, yang selalu ranking I sejurusan FIS, kesayangan guru-guru, yang dijuluki “bintang segala
bintang es em a-nya ¡tu? Mia,  langganan ngewakilin sekolah dalam berbagai lomba tingkat es em a, satu- satunya
 cewek yang berhasil merebut hati Andika, ¡dola di SMA 111 ¡tu...? Mia...? Ya, Mia sudah sangat mantap. ¡a tak ingin
 hidayah yang sudah dirasakan menghujam dalam, tercerabut lagi dari hatinya hanya karena ¡a menunda melakukan
 sesuatu hal yang jelas-jelas membawa kebaikan. Perintah Allah!


Mama tidak setuju kamu pakai pakaian seperti orang kampung atau orang-orang tua. Mama tidak dan tidak
 akan pernah setuju!’ kata Mama, dua hari sebelum Mia memutuskan untuk berjilbab.  
“ini bukan pakaian seperti ¡tu, Ma. ¡ni pakaian seorang muslimah,” jawab Mia lembut.  “Banyak hajjah nggak 
pakai jilbab, Mama juga nggak... apa mereka bukan muslimah? Apa Mama bukan orang ¡slam...!?’ 
“Bukan begitu, Ma... Mia cuma ¡ngin...”.“Mama nggak peduli, Mia. Pokoknya Mama eggak mau anak Mama kelihatan
 aneh. Apa kata orang lain melihat kamu tertutup seperti ¡tu,” kata Mama, kali ¡ni lembut sambil membelai
 rambut Mia.

“Rambut kamu bagus sekali, Mia..., sadari ¡tu.” 
“Justru karena Mia sadari ¡tu, Ma...!” ajuk Mia. “Udah, nggak usah dibicarakan ¡agi. Menurut Mama, yang penting
 kita berbuat baik selama hidup di dunia ¡ni. Cukup. Jilbab ¡tu nggak pent¡ng, buat apa berjilbab kalau hati kita
 berkudis... Kan muriafik namanya.”
‘Tapi jilbab itu peiintah Allah, Ma... Dan sebagai seorang muslimah yang baik, kita harus menyesuaikan diri dengan 
jilbab kita,” jawab Mia. “Udahlah, Mama mau pergi latihan Aerobic. Eh, mau ikut nggak? Banyak yang sudah kangen
 sama kamu.” Mia mengeleng lemah. “Udab jangan punya pikiran macam-macam ya, Yang,”

Mama mengecup kedua pipi Mia dan berlalu. “Bi Nuuuuung, kalau Tuan pulang, bilang suruh makan malam duluan,
 jangan tungguin saya!” pesan Mama di antara deru kijang-nya. Hal itu juga, di meja makan Mia bicara pada Papa.
“Jilbab? Tidak! Kamu anak Papa..., kalau anak ustadz, lain gak masalah,” kata beliau. ‘Kalau tetap mau pakai juga
gimana, Pa?” Papa mnghentikan makannya dan memandang Mia tajam. “Kalau dilarang, itu tandanya Papa masih
 sayang. Jangan malu-maluin Papa. Bagaimana nanti dengan masa depan kamu, mau kerja di mana? Pesantren? Mau
 nikah sama siapa? Guru ngaji yang di kampung- kampung?’‘Papa kok sinis gitu..., banyak kok muslimah beijilbab jadi
 usahawati, nikah dengan insinyur atau dokter... Kan semua di tangan Allah. Nikah dengan guru ngaji di kampung 
bagi Mia enggak apa, yang penting dia bias ngajak ke surga…”
 “Kamu ngomong apa sih,Mia? Papa nggak suka dengernya!” kata Papa setengah membentak. Tapi tekad Mia sudah
 bulat. la harus berjilbab. Akhirnya la pun pergi ko toko busana muslimah dan membeli beberapa stel pakaian
 muslimah, lengkap beserta jilbab dan kaos kaki. Ia rela ngabisan uang jajannya setengah bulan untuk ¡tu. 
 
Hari pertama berjilbab, pagi-pagi sekali ia sudah rapi. Via datang membantu Mia mengenakan jilab. Mereka pergi
 ke sekolah dengan leluasa. Cuma  Bi Nunung yang tahu. Papa ada acara diluar kota dan  mama belum bangun tidur. 
Siangnya ketika pulang sekolah, Mia masuk rumah dengan mengendap-endap. Di garasi, langsung membuka
 jilbabnya dan memasukkan kain  putih itu kedalam tas. Aman. Lagi pula siang-siang begitu biasanya Mama masih
 dikantor beliau.Seminggu  Mia berjilbab dan orang rumah yang tahu cuma Bi Nung. Bagaimana kursus modeling 
kamu, Mia?” Tanya Mama suatu hari ‘Kok mbak Soraya nanyain kamu ke Mama. Sudah hampir sebulan kamu nggak
hadir.”
Mia berhenti aja, Ma,”jawab Ma enteng. Apa!!” Mama terkejut. “Dulu kamu yang memaksa masuk!” 
“Mia sudah kelas tiga, Ma...Banyak tugas sekolah,’ elaknya. Tapi hari berikutnya, ketika la dengan santainya pulang
 ke rumah karena tak melihat mobil Mama di garasi..., Mia benar-benar terkejut! 
 
Mama dengan mata melotot memandangnya dari sofa ruang tamu. “Assalaamu’alaikum,” sapanya. Mama diam.
“Darimana kamu? Pengajian?” “Dari  sekolah, Ma.” “Buka jilbab kamu! Bukaaaaaa!!! Sekarang juga Anak durhaka! 
Nggak tahu disayang!!” bentak Mama tiba-tiba.
“Ma, rnmaafin Mia..., Mia sayang Mama, tapi Mia harus ngikutin perintah Allah...,” air mata Mia mengalir.
“kamu... ka.. .mu...,” Mama melotot sambil memegangi dadanya..., kemudian... pingsan! “Bi Nung! Bibiiiiii!!! 
Mama, Biiiiii!” seru Mia panik. “Mamamu kena serangan jantung,” kata dokter Rita. “la terkejut, shock! Apa yang 
mengejutkannya?” Mia menggeleng, “Entah Dok, mungkin Mama shock lihat ini,” kata Mia.”sedih sambil memegang
 jilbabnya.Dokter Rita mengernyitkan dahi dan tersenyum. “Jaga Mamamu baik-baik,”kata dokter keluarganya itu
Malamnya Papa marah-marah dan menggunting-gunting dua jilbab yang tergantung di belakang pintu kamar Mia. 
Suaranya menggelegar! Keras sekali! Mia betul-betul takut. 
 
Esoknya, pagi-pagi sekali sebelum Mama dan Papa bangun, Mia sudah ke sekolah. Dengan derai airmata, la cerita-
kan semua pada Via. “Apa aku lepas saja jilbab ini untuk selama-lamanya, Via? Aku tak tahan disebut sebagai anak
 durhaka..;,” suara Mia lirih. “Istiqomah, Mia... Tegarlah! Sabar! Bertahan!” kata Via mengokohkan hatinya. ‘ini
 cobaan, saudaraku!” kata Via lagi sambil menyerahkan sebuah bungkusan besar. “Jilbab dan baju dari teman-
teman...”
                                                                     
 
Kemarin Papa memukulnya! Hal yang paling jarang Papa lakukan. Papa menamparnya berkali-kali banya karena
 melihat la pulang sore dengan jilbabnya. Waktu itu ia memang habis ikut mentoring agama ¡slam di
sekolah. Sungguh, la tak menyangka kalau Papa pulang cepat. Kemarin itu bahkan Papa sudah menuangkan minyak
 tanah keatas jilbab putihny & la hanya bisa beristighfar berulangkali dan dan menangis. Bi Nung teriak-teriak,
 sedang Mama hanya memandang sambil memegangi dadanya! 
 
Habis maghrib, Mama masuk ke dalam kamarnya. Mencoba bicara baik-baik. “Kamu
 minta apa saja Mama turuti, asal kamu jangan berjilbab seperti orang kampung! 
Apa saja! Mama bahkan berpikir untuk sekolahin kamu ke
Harvard. Kalau perlu besok juga Mama belikan kamu mobil, supaya kalau ke lintas
 Melawai, kamu punya mobil sendiri.Nggak nebeng.”
 
“Mia nggak perlu itu semua, Ma. Mia... cuma ingin lebih dekat sama Allah,” suara Mia
 pelan. “Yang penting kita bertaqwa, Mia,” kata Mama. “Jilbab adalah realisasi taqwa, 
Ma. ..

‘Buang jilbab-jilbab itu, ya...’Mia cuma diam.Malam itu Mia shalat malam. la berdoa agar 
Allah membuka pintu hati Mama dan Papa, dan semua orang Islam... agar mereka lapang 
menerima apa yang telah ditetapkan Allah...atau minimal tidak menghalangi mereka
 yang ingin melaksanakan ketetapan Allah....

******
Dan hari ini semuanya sudah dibakar Mama. Mama memergokinya mengenakan busana muslimah lagi.
“Mbok ya nunut aja sama orangtua toh Neng. Ridha Allah itu khan tergantung ridho orangtua. Apalagi Neng orang
 kota orang modern, pantesnya ya seperti dulu,” kata Bi Nung. “Kita hanya taat kepada orang tua selama mereka
 tidak menuruti hawa nafsunya dan tidak menentang Allah, Bi.. .“ 
“lya yo, Neng.”itu kata Al Qur’an,Bi...” ‘Neng, badan Neng yang biru dan bengkak-bengkak itu Bibi olesin minyak,
 ya!’ Mia mengangguk airmatanya jatuh. Hanya setitik.

 Besoknya badan Mia menggigil. la demam. Dan juga jadi alasan bagus dia nggak sekolah (karena la benar nggak 
punya baju panjang dan jilbab buat kesekolah. Mama dan Papa tidak kemana-mana. Mereka ngawasi Mia. Dokter 
Rita menurut beliau Mia demam biasa. Siangnya, Mia mendengar suara Andika di ruanq tamu. Mau apa si Dika 
datang kemari? Kan udah putus? Piker Mia. Deg! Tiba-tiba saja Mia takut Dika disuruh Marna Papa untuk melihat
 keadaannya yang terbaring di kamar ini... atau dia yang disuruh menemui si “Jang Dong-gun” itu Jujur, Mia 
kangen..., tapi... astaghfirullah, Mia beristighfar. Seharusnya Mia nggak boleh mikirin itu lagi.
‘Masuk
aja ka dalam yuk, 0m temani .“Deg!  “Nggak usah, 0m..., salam aja buat Mia.”“Salam sayang?” suara Mama. “Salam 
Islam, tante, alias As salaamu’alaikurn, sama salam jihad selamanyal Permisi Tante.”Mia tertawa di kamar. 
Albamdulihlah, berarti Kamal si ketua OSIS dan Yayan si ketua Rohis berhasil ngajak Dika ikut mentoring! 
Tiba-tiba terdengar suara gemerisik dari balik jendela... “Ssst..., Mia..,
 
Mia... Sssst!” Mia membuka jendela kamrnarnya. Subhanallah! Via dan linda! ‘Baju dan jilbab alakadarnya Thanks to Andika yang udah bikin sibuk Mama dan Papa kamu! Udah ya, istiqomah!” Mia tersenyum, terenyuh. la bangkit dart ternpat tidur dan menyimpan rapi semua pemberian teman-temannya itu....


Mia masih demam. Tapi pagi-pagi buta ia sudah berangkat kerumah Via dan rencananya langsung ka sekolah. Bi Nung yang tahu ketakutan. ‘Neng, ati-ati...Aduh, Bibi takut ketahuan!” Doakan raja saya, Bi. Siang nanti insya Allah saya sudah pulang kok! Saya ka sekolah dulu,” kata Mia sambil mencium tangan Bi Nung.

“Mbok ya sing ati-ati.,., perasaan Bibi kok ya ndak enak...,” ujar Bibi gemetar. Di sekolah, anak-anak Rohis juga teman-teman yang lain menyambutnya gembira. Kangen, kata mereka. Padahal setahu Mia, dia cuma nggak masuk tiga hari. Mia juga sempat melihat Dika. Dika nunduk dan diam saja waktu ketemu. Jam setengah satu siang, bel
sekolah berbunnyi. 

Mia baru saja membereskan peralatan sekolahnya ketika tiba -tiba dilihatnya... Papa sudah berkacak pinggang dalam kelasnya! “Pulang!”
“‘Mama menunggu di mobil ! Cepat!” seru Papa. Anak-anak ramai memandangi.Dengan tenaga yang kuat, Papa menarik tangan Mia. Beberapa peralatan sekolahnya jatuh berceceran. Tapi Papa tak peduli... Terus nariknya...
“Anak durhaka! Bikin malu orangtua! Durhaka ! ‘Pa...,’ tangis Mia.

Mia merasa satu sekolahnya menatapnya. “Buka jilbab kamu!  Buka! Orang-orang harus tahu kamu punya rambut bagus! Nanti mereka kira kamu botak!
Buka!” tangan Papa meriarik jilbab Mia. Mia berontak! “Jjjjangan Pa..., jangan! Jangaaaaannn!! Astaghfiruflah! !“ Tapi Papa sudah tak peduli!

Dicengkramnya jilbab Mia. Jilbab itu kemudian terlepas dari kepala Mia! Dagu dan sebagian lehernya berdarah lagi terkena tusukan peniti! Papa terus menyeretnya melewati konidor sekolah...

Sabar, Pak! Sabar!’ seru Pak Jayid dan wakil kepala sekolah. Nia anak baik, kebanggaan kami, jangan diperlakukan seperti itu!”

“Saudara jangan ikut  carnpur! Ini urusan keluarga!” kata Papa kasar. “Ayo pulang, Mia! Pulang!” “Om...,”suara Andika. “Sabar Om!” Mia menangis. Oh, kini semua orang melihatnya tanpa jilbab... juga Dika!

Tiba-tiba ia merasakan nyari merejam hatinya! Astaghfirullah...! “Mau apa kamu,Dika!” “Jangan perlakukan Mia seperti itu!” Dika melempar taplak meja yang sedari tadi dipegangnya  pada Mia. Mia buru-buru menutup bagian kepalanya dengan taplak tersebut. “Kalian semua sama saja!” kata Papa.

Mia yang tiba-tiba lepas dari cengkeraman Papa, segera berlari melewati pintu gerbang sekolah. Taplak meja itu masih membungkus kepalanya! Masih didengarnya suara Via, Linda dan para jilbaber lain yang menyuruhnya sabar dan istiqomah... hatinya pedih...

Mama berhasil mengejar Mia, dan dengan paksa memasukkan nya ke mobil. Sepanjang perjalanan pulang Mama mencubitinya dan Papa tak henti memarahinya.“Ketahuan sekali lagi kamu pakai jilbab ke sekolah, Mama akan datang ke sekolah kamu tanpa busana!” kata Mama. Mia tersentak! Dan berhenti saja jadi anak tunggal Papa, kalau hanya untuk memalukan Papa. Papa nggak keberatan untuk memungut anak dan mulai dan awal lagi!” kata Papa.

Hati Mia terhempas-hempas! Sampai di rumah, semua baju panjang dan jilbab kembali dibakar Mama dan Papa tanpa ada yang luput. “Ini karena kami sayang sama kamu,” kata Papa akhirnya sambil mencium pipi Mia, malam
nya. “Apalagi kamu satu-satunya putri kami,” kata Mama sambil membelai rambutnya.

Mia cuma diam. Beku....


Hanya Allah yang tahu, betapa Mia sangat sayang Mama dan Papa..., tapi... apakah untuk membuktikan kecintaannya, ia harus menanggalkan busana muslimahnya dan kembali seperti dulu? Ya Allah..., beratbenar cobaan Mu ini...? rintih Mia. Usai shalat malam, Mia membungkus tiga buku dengan rapi, Buku kisah Mush’ab bin Umair. Mu’adz bin Jabal dan Sa’ad bin Abi Waqqash. Kisah tiga tokoh sahabat nabi Muhammad SAW yang beriman dan betrislam, namun mendapat berbagai halangan dan aniaya dan orangtua mereka. Mia ingin Mama dan
Papa membacanya, agar mereka menyadari bahwa ni’mat beniman dan berislam tak dapat ditukar dengan apapun... Bahkan dengan dunia dan seisinya. Mia juga membuat surat untuk Mama dan Papa. Menyatakan bahwa Mia sangat mencintai mereka, tetapi seperti kata Allah dalam surat At Taubab ayat 24, seperti juga yang disampaikan Pak Jayid, bahwa Allah adalah cinta atas segala cinta, la ingin menurut pada orangtua sebatas tidak
membawa maksiat. Sebatas tidak menghalanginya beribadah kepada Allah. Tidak menghalanginya beijilbab (An Nur 31dan Al Ahzab 59). Dan ia sadar bahwa cinta ita perlu pengorbanan. Begitulah hidup. Berulangkali pula Mia menegaskan bahwa ia sangat cinta pada Papa dan Mama... tetapi kecintaan kepada Allah ¡tu dah selayaknya jauh lebih besar dan tak terbingga. Dan ¡a berharap suatu ketika Mama dan Papa sadar dan bisa menerima dia apa adanya.

Sehabis shalat subuh, Mia sibuk mengemasi  beberapa potong pakaian dan bekal alakadarnya, la akan pergi untuk semerara. Entahlah kemana. Mungkin ke rumah Via atau Linda ……atau ke rumah Pak Jayid dan istrinya… atau ke rumah Oma. Uangnya tak seberapa…tapi untuk sebulan isya’Allah cukup. Ia  tak mau merepotkan banyak orang. Udara pagi dingin dan basah. Mia membuka jendela kamarnya lebar-lebar. Ia  kenakan sweater, celana panjang dan rok sekolah serta kaos kaki dan mukena panjang. Dia tak peduli sudah seperti apa penampilannya kini. Ia harus pergi. Ya, ia harus pergi lewat jendela. Kunci pinta rumah kini hanya ada pada Mama danPapa.

Sesaat Mia merenung di depan jendela kamar yang terbuka lebar itu. Haruskah ja pergi? Ia harus tetap berjilbab! Bisakah ia tetap beijilbab dan tetap berada di rumah Ini? Rasa-rasanya tidak. la harus pergi... ya, walau  sementara! Membawa piranti hatinya yang kini retak!

Ma, Pa sayang, Mía pergi semen tara.
Mía akan pulang
setelah hati Ma dan Pa terbuka
bagi Mía dan jilbab Mía...
Maafkan Mia, yaaa…..
Ya Allah..., ampuni kami,
beri petunjuk pada kami
agar kami dan semua orang
Islam selalu lapang
dalam menerima apa yang
KAU tetapkan
atau minimal tidak menghalangi mereka
yang ingin melaksanakan ketetapanMU.

Amin.

Peluk cium,
Ananda Mia Prasanti

Hati Mía teriris sendiri. Dingin udara pagi seolah jadi tak berarti. Tapi Mia tahu la tak sendiri. Astaghfirullah..., bismillah..., diteruskannya langkahnya di tengah gerimis pagi.

Tabahkan hatiku, Rabbi ….!

Cerpen Remaja Annida  1414 H 
By : Alhamasah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar


Cinta yang halal...
Berapa banyak dari kita yang mengharapkannya
Sehingga bukan lagi untuk menghalalkan segala cara
Karena cinta mengajari kita mengerti dan memahami
Tentang arti sebuah keikhlasan

Biarlah...
ku mencintaimu dalam diam
semua akan indah pada waktunya
Tentang cinta yang halal
Tentang kedewasaan cinta nya, cintaku dan cintamu
Diatas jalan yang halal
dan berakhir dengan keberkahannya...
Amin..
 
Copyright © 2009 . |Designed by Templatemo |Converted to blogger by BloggerThemes.Net

Usage Rights