‘Heh..., itu sepatunya dipake yang bener De’ “bentak seorang Menwa, sambil berkacak pinggang. Matanya melotot, relunjuknya menunjuk kakiku.
Wah, sorry Mas. Kaki saya sakit nih... biarin aja ya!? sahutku santal sambil ngeloyor pergi. Iseng amat Menwa satu terus terang bel tanda istirahat tadi bikin aku semakin gondok karena kesibukan baruku terganggu. Pengin tahu kesibukan baruku?
Psst... nah itu dia orangnya. Sambil terus memelototi makhluk imut-imut tadi, aku ikut ngantri makan siang. Ck.. .ck.. .ck..., kenapa baru tiga hari kemarin aku nemu yang kayak dia, ya? Coba kalau dari awal penataran, wuih...Hmm..., bener-bener kayak Taylor Lautner deh..., sayang pakai sedikit jenggot dan dahinya kotor, kayak ada item-itemnya, coba kalau jenggot itu dicukur dan dahinya itu ber..., “Aduh!’
‘Heee, kalau jalan jangan meleng doong. No liat pakean gua ikut makan sayur!!’ bentak Tagor gahar.
‘Ups. Sorry.. sorry..., nggak senigaja. Maap...,” sahutku. Tanpa kupedulikan sumpah serapah Tagor yang lumayan galak, kulirik ‘buruan’ku. Aha..dia menoleh ke arahku, sekilas. aaa... nunduk lagi. Aneh, ya…! kok di PTS beken begini ada makhluk kayak gitu....
Hari kelima semenjak aku jadi detektif partikelir menguntit aku semakin tahu kebiasaannya. Jalannya nunduk melulu, kalau ketemu perempuan pasti membuang muka kecuall sama dosen perempuan dia masih mau mengangguk. Kemeja lengan panjang- nya ¡tu selalu dibiarkan panjang, nggak pernah diigulung. Dan yang lebih nyentrik lagi, celana panjangnya pasti digulung sebatas mata kaki, persis orang kebanjiran
hi. ..hi.. .hi..., cuman cakep-nya ¡tu lho... aih, gemes deh! Trus pas istirahat, dia musti ngilang, entah kemana. Pernah aku coba mencari, hasilnya nihil, alias nol besar. Taylor Lautner berjenggot ¡tu tak kutemukan batang jenggotnya eh...,hidungnya.
Hari ini kupergoki dia sedang duduk di ruang penataran pas istirahat,
kelihatannya baca buku tapi kok bukunya kecil amat? Primbon ngkali?!
Kok dia nggak makan ya? Kalau nggak salah, kebiasaan nggak turun makan
mesti pas han Senin atau Kamis.
Sirene tanda penataran kembali memporak-porandakan konsentrasiku.
Berani taruhan pasti si Lautner berjenggot itu terbirit birit mencari tempat
duduk di deretan paling depan. Soalnya, deretan tengah tempat ia duduk pernah
terjadi insiden yang sebenarnya bikin aku gemas karena jealous..., gimana nggak ? si Lautner ¡tu tu..., ketika sedang
menekuni buku yang entah aku nggak tahu judulnya,tiba-tiba saja dihampiri
si Audy, Merry, Rossa, and her gank,trus... dengan santainya si Audy
menyandarkan punggungnyake punggung Lautner jenggotan ¡tu,sambil ngobrol
sama Merry. Waihasil, terjingkatlah si Lautner dari duduknya sampai nabrak kursi
di depannya sambil bardesis seperti Astaghfirullah... Kasihan Audy dia terjatuh,
sampai rambut polernnya (poni lempar, maksudnya...) berantakan, tapi dalam
hati aku sih seneng aja.
Sukurin lu...Paling seneng kalau pas acara diskusi, wuihhh do’i yang kutahu
namanya Abdullah Fathan (menurutku sayang, cakep-cakep namanya si Dul...)
paling ganas kalau pas disikusi.
Suara baritonnya selalu membahana membantai para penyaji makalah.
“Sekarang ini saya ingin contoh kongkrit dan pelaksanaan butir-butir tersebut.
Seseorang yang bisa dengan sempurna melaksanakan butir-butir normatif ¡tu.
Ya... bisalah disebut Uswahnya.” Ala mak... Uswab, makanan apalagi ¡tu?
Penataran usai sudah. Tapi penasaranku belum usai. Pasalnya, si Lautner
eh AbdullahFathan itu, nggak muncul waktu pesta perpisahan kelas Bangsa
1(satu). Uh. Aku keki deh! Padahal aku sudah mengenakan gaunku yang
menurut mama paling manis. Aku keki marah dan kasal ! Baru sekali ini aku
ketemu cowok yang enggak perduli sama cewek. Marah dan kecewa membuat
aku ingin kasih pelajaran pada tu Lautner. Keesokan harinya aku benar-benar
nekat bin ngaco. Ketika kulihat Lautner Abdullah Fathan ¡tu di boulevard
kampus. Kutekan gas Accordku dalam-dalam dan kuhentikan persis di depannya.
Kontan aja la terdongak kaget.Tanpa ba, bi dan bu, kuberondong dia.
“Kamu... kamu sombong sekali, Arogant..., very arogant. ¡ya...
kamu sombong,”mataku berkaca-kaca. Dia terlongong-longong, lalu menunduk
dan pergi. Ooh..., kemana gerangan berondongan yang semalam sudah
kupersiapkan??
Lidahku kelu, mataku terasa panas. “Assalaamu’alaikum, Trisa..., kenapa?” Ifa
yang kukenal sebagai kakak seniorku tiba-tiba sudah muncul di hadapanku yang
semenjak tadi terduduk lemas, di bemper mobilku. “Kum salam, nggak papa,
Mba...,” sambutku lemas. Kusambut uluran tangannya. Tiba-tiba kurasakan
di dalam gengaman jemari Ifa, kudongakkan kepalaku perlahan. Kutatap mata
Ifa dalam-dalam. Ada keteduhan di sana, kubiarkan
Ifa membimbingku masuk ke mobil dan dia mengambil
alih posisiku, perlahan Accord putihku dikemudikannya.
Heran..., padahal selama ini aku
tidak pernah tertarik dengan orang-orang seperti Ifa,
Haria, Rosyda yang selalu
berpakaian ala orang Arab. Menurutku memang
eksklusif, dingin dan tidak bersahabat. Tapi nyatanya,
ketika aku dalam keadaan linglung begini, justru salah
satu dan mereka yang menolongku. Dalam perjalanan,
entah kenapa aku dengan lancarnya bercerita tentang
perasaankuterhadap Lautner Abdulah Fathan-ku padanya, tanpa sungkan, tanpa
malu. Padahal aku baru akrab dengan Ifa hari ini. ifa tersenyum arif mendengar
semua ceritaku, sesekali gigi-gigi mungilnya tersembul manakala aku tersulut
emosi ceritaku, entah berapa kali tangan kirinya menepuk-nepuk jemariku,
seperti memberi kekuatan. Dewasa sekali... ‘Lho, kok kesini ?“ tanyaku heran.
Ifa memarkir mobilku di halaman masjid Ummahatul Mu’minin.”Ada ceramah
dari ustadz Anwar Jufri, kamu mau ikut mendengarkan? tawarnya. “Aku?”Iya,
kenapa?” ‘Dengan pakaian seperti ini?
‘Memangnya masjid hanya milik orang-orang yang berjilbab?” Aku terdiam...,
lamaaaa sekali. Baru ketika Ifa menarik lenganku, aku meliriknya serius.
Kulihat mata bulat milik Ifa berbinar, alisnya sedikit terangkat mencoba
meyakinkanku. Okay...okay. Kau menang, ”putusku pada akhirnya.
“Alhamdullilah...,’ katanya lega.Akhirnya, jadilah aku mengikuti
pengajian itu dengan pakaian yang alakadarnya dansama sekali nggak pantas
untuk sebuah pengajian, Levis, sepatu hak tinggi dan kemeja temaram.
ini pengajian pertama yang aku hadiri sejak aku pulang dan Perancis mengikuti
papaku yang jadi Dubes di sana.
Ya, aku nggak pernah ngaji lagi sejak dan negeri mode itu, padahal ketika SD dan
SMP dulu sering ngaji pada Ustadz Makmun yang dipanggil papa ke rumah.
Jangankan ngaji, shalat aja bacaannya mungkin bolong-bolong. Beberapa wanita
berjilbab yang sudah hadir di sana menyalamiku dengan hangat.Uh... tiba-tiba aku
jadi benci pada Monsieur Pierre guru pianoku yang sering bercerita tentang
Timur Tengah sambil selalu mendiskreditkan jilbab dan pemakainya. Dua jam
penuh di masjid Ummahatul Mu’minin hatiku terasa bagai disiram air salju...,
sejuk dan tenang sekali. Uraian tentang cinta kepada Allah itu begitu mudah
kucerna. Plup.. .plup. Oh... aku menangis, beberapa butir bening menyembul
dan sudut-sudut mataku. Usai mengikuti ceramah, Ifa memberiku kejutan yang
lain. ‘Mampir ke rumahku, Trisa pintanya. ‘Rumah? kamu
nggak kost? tanyaku heran. Alhamdulillah kami sudahpunya rumah,
ya... meski baru kontrak,’ sahutnya. Kami?’ ‘lya... Aku dan suamiku.
‘Kamu...? Semuda ini?” Kami sudah menikah dua bulan yang lalu.” Sebenarnya
suamiku lebih tua dua tahun. Namun, salama ini dia lebih sibuk memperhatikan
usaha toko bukunya. Ya, untuk persiapan menikah, gitu, Sekarang, satelah dia
rasa cukup mampu, dia mencoba untuk kuliah sahutnya sambil tersenyum.
Aku cuma menggeleng-gelengkan kepalaku karena heran bercampur takjub.
Nah itu rumahku, ayo masuk Trisa….Mobilku berhenti di sebuah
rumah mungil yang asri, penuh dengan pot-pot bunga yang berjajar rapi. Bersih.
Ada tulisan dipintu masuk: Moslem Apartement.
Ketika aku melangkah masuk, kesejukan kedua menyergapku setelah kesejukan di
majlis ustadz Anwar tadi. Sebuah karpet tipis berwarna hijau tua melapisi lantai
ruang tamu berukuran tiga kali empat meteritu. Ada tirai tebal berwarna hijau
muda yang membagi ruangan menjadi dua, selebihnya tidak ada perabot lain
kecuali dua buah ukiran nama Allah dan nabi Muhammad yang tergantung di
dinding, sederhana sekali. Assalaamu’alaikum, Bang... ini ada tamu.
Trisa...” Wa’alaikumussalam. O,ya.Silahkan Ifa yang temui, ya. Abang ada acara
di masjid Al Falah Suara laki-laki itu terdengar dari balik tirai tanpa kulihat
orangnya. Aku tersentak. Suara itu seperti….. ah. aku menepis pikirariku.
“Suamiku sering ngisi ceramah di Al Falah, Trisa …..,”cerita Ifa sambil
mengulurkan segelas teh manis. Ragu-ragu aku bertanya, “Siapa nama suami
mbak...? Mata bening Ifa menatapku
lekat-lekat. Lembut. Tangannya mengusap rambutku. Aku tahu, ada jawaban
di sana. Benarkah dia si Taylor Lautner-Ku? Akh’ Aku malu, malu sekali...